Si Fulan
membeli sebidang tanah dari temannya. Pada suatu saat, ia mencangkul tanah itu
untuk menanam pohon. Cangkulnya membentur benda keras. Ternyata benda itu
adalah belanga berisi emas. Benda itu peninggalan purbakala.
Fulan
membawa belanga berisi emas itu kepada penjual tanah. “Aku menemukan emas di
tanahmu,” katanya. “Tanahku sudah kujual kepadamu. Maka tanah itu adalah
tanahmu, bukan tanahku,” kata penjual tanah.
“Aku
membeli tanahmu, tidak membeli isinya. Belanga berisi emas ini kutemukan di
dalam tanah yang kau jual kepadak. Jadi, belanga ini milikmu karena yang kubeli
hanya tanahmu, bukan emasmu.”
“Aku
menjual tanah berikut isi di dalamnya termasuk emas ini. Maka, jadilah emas itu
milikmu.”
Keduanya
berdebat. Masing-masing tidak mau mengakui belanga berisi emas itu miliknya.
Mereka takut barang yang bukan miliknya.
“Kita
tidak akan bisa memutuskan masalah ini,” kata Fulan setelah berdebat
berkepanjangan dengan penjual tanah itu. “Sebaiknya kita bawa ke pengadilan
saja. Biarlah hakim yang memutuskan siapa pemilik emas ini.”
“Setuju.”
Keduanya lalu pergi ke pengadilan. Ternyata hakim juga tidak bisa memutuskan
perkara itu.
“Apa
kau punya anak laki-laki, hai Fulan?” Tanya hakim.
“Ya,
Tuan Hakim. Saya punya anak seorang laki-laki,” jawab Fulan.
“Kau
punya anak perempuan?” Tanya hakim kepada penjual tanah.
“Saya
punya seorang anak perempuan, Tuan Hakim.”
“Kalau
begitu, nikahkanlah mereka. Emas dalam belanga itu menjadi milik mereka
berdua.”
Fulan
dan penjual tanah setuju dengan keputusan hakim itu. Mereka menikahkan anak
mereka. Kedua pengantin itulah pemilik emas temuan Fulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar