Rabu, 30 April 2014

Sang Pemimpin Yang Adil, Jujur dan Bijaksana

 
Khalifah umar bin Abdul Aziz adalah seorang pemimpin yang jujur, adil dan bijaksana. Kekuasaan di tangannya berarti kemakmuran bagi rakyatnya, bukan untuk dirinya atau keluarganya.

Ia sangat hati-hati menggunakan uang Negara, agar tak sampai bocor serta jatuh kepada yang bukan haknya. Rakyatnya hidup dalam kerukunan damai, tanpa kebimbangan dan rasa takut menyampaikan keluhan atau kesulitan hidup mereka. Terutama terhadap tindak tanduk para pejabat pemerintah yang sering melakukan perbuatan tanpa mempertimbangkan baik buruknya bagi rakyat dan wibawa pemerintah.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz tak ingin melihat rakyat berbuat tidak senonoh karena diawali oleh perbuatan para pemimpinnya. Karena itu, ia tidak segan-segan menjatuhkan hukuman kepada siapapun yang berbuat salah, termasuk kepada orang-orang kepercayaannya atau keluarganya.
Pada suatu malam, ketika khalifah Umar bin Abdul Aziz berada di ruang kerjanya, memeriksa catatan keluar masuknya dana Baitul Mal, terdengar ketukan pintu.

Ruang kerja itu diterangi lampu minyak sekedarnya, hanya cukup terang untuk membaca di dekatnya, tetapi tidak terlalu terang untuk bercermin di kaca. Khalifah tidak pernah bercermin kecuali kepada keteladanan Rasulullah dan para sahabat Nabi.

“Siapa di luar?” Tanya khalifah tanpa membuka pintu.

“saya, Ayah,” terdengar suara seorang pemuda.

“Ada keperluan apa?” Tanya khalifah.

“Saya disuruh ibu, untuk membicarakan tentang beberapa masalah.”

“Masalah apa?”

“Buka pintu dulu, Ayah. Izinkan saya masuk,” jawab anaknya, mendesak ingin masuk.

“Terangkan dulu, apa masalahnya? Soal keluarga, soal masyarakat, atau soal Negara?” Tanya Khalifah masih tetap tidak membukakan pintu untuk anaknya.

“Tentu saja urusan keluarga kita, Ayah,” jawab anaknya keheranan melihat sikap ayahnya.
“Kalau begitu tunggu sebentar,” sahut Khalifah dari dalam.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz kemudian bangkit dari tempat duduknya mendekati satu-satunya lampu minyak di kamar itu, dan kemudian meniupnya hingga padam. Ruang kerja itu berubah menjadi gelap gulita. Lalu Khalifah membuka pintu dan anaknya disuruh masuk.

Pemuda itu semakin heran melihat tingkah ayahnya. Masak berbicara dalam ruangan yang gelap seperti ini? Apakah ayahnya sudah bingung atau berubah ingatan? Apakah karena terlalu bekerja keras, tindakannya menjadi aneh, di luar kebiasaan orang waras?

Dengan agak was-was dan sedikit rasa takut, pemuda itu bertanya ingin tahu kepada ayahnya.

“Ayah, di ruangan ini Cuma ada satu lampu, mengapa ayah padamkan? Apakah kita akan berbincang-bincang dalam gelap?”

“Benar. Kalau kita berbicara dalam kamar ini, kita akan berbicara dalam keadaan gelap,” jawab Khalifah.

“Mengapa, ayah?”

“Apakah kau tahu kamar apa ini?”

“Kamar kerja Ayah.”

“Siapakah ayahmu?”

“Amirul Mukminin, Khalifah, seorang pemimpin Negara,” jawab anak muda itu semakin tak mengerti. Bahkan ia menjadi curiga ayahnya telah mabuk kekuasaan, sehingga hilang akal sehatnya.

“Itulah jawabannya. Karena ayahmu seorang pemimpin, maka kita akan berbicara tanpa lampu penerangan di ruangan ini.”

“Mengapa?”

“Yang akan kita bicarakan adalah masalah keluarga, sedangkan lampu itu minyaknya dibeli dengan uang Negara, uang rakyat. Aku tidak mau urusan keluarga sampai merugikan milik rakyat, kepunyaan Negara. Ruangan ini adalah kamar kerja untuk kepentingan rakyat dan Negara. Tidaklah kau tahu bahwa kekuasaan adalah amanat yang akan dimintai pertanggungan jawab oleh Allah kelak di Hari Pembalasan?”

Mendengar penjelasan ayahnya, barulah pemuda itu mengerti tentang apa yang dilakukan ayahnya. Yang tak mau merugikan rakyat dan Negara karena urusan pribadinya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Film Indonesia SUSTER MARIA 1974

>> DOWNLOAD << Atas perintah pimpinan rumah sakit, perawat Maria (Tanty Josepha) mendatangi rumah Ny. Permana (Chitra Dewi). Ma...

Flag Counter