Sabtu, 05 April 2014

Kecerdasan Emosional (EQ Lebih Penting Daripada IQ)



Pada awal abad ke-20, IQ pernah menjadi isu besar. Kecerdasan intelektual atau rasional adalah kecerdasan yang digunakan untuk memecahkan masalah logika maupun strategis. Para psikolog menyusun berbagai tes untuk mengukurnya, dan tes-tes ini menjadi alat untuk memilah manusia ke dalam berbagai tingkatan kecerdasan, yang kemudian dikenal dengan istilah IQ (Intelligence Quotient) yang dapat menunjukkan tingkat kemampuan yang dimilikinya. Menurut toeri ini, semakin tinggi IQ seseorang , semakin tinggi pula kecerdasannya.

Pada pertengahan tahun 1990-an, Daniel Goleman mempopulerkan penelitian dari banyak neorolog dan psikolog yang menunjukan bahwa kecerdasan emosional, disingkat EQ (Emotional Quotient) sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual. EQ memberi kita kesadaran mengenai perasaan milik diri sendiri dan juga perasaan milik orang lain. EQ memberi kita rasa empati, cinta, motivasi, dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan atau kegembiraan secara tepat. Sebagaimana dinyatakan oleh Goleman, EQ merupakan persyaratan dasar untuk menggunakan IQ secara efektif. Jika bagian-bagian otak untuk merasa telah rusak, kita tidak dapat berpikir efektif.

Di bawah ini contoh cerita agar kita dapat lebih memahami perbedaan antara IQ dan EQ.
Jason H, seorang siswa kelas dua yang nilainya selalu A di SMU Coral Springs, Florida, USA, bercita-cita masuk fakultas kedokteran Universitas Harvard. Tetapi Pologruto, guru fisikanya, memberi Jason nilai 80 (B) pada sebuah tes. Karena yakin bahwa dengan nilai B akan menghalangi cita-citanya, maka Jason kemudian membawa sebilah pisau dapur ke sekolah, dan dalam suatu pertengkaran dengan Pologruto di laboratorium fisika, ia menusuk gurunya di tulang selangka.

Hakim memutuskan bahwa Jason tidak bersalah, karena pada saat kejadian ia dianggap gila untuk sementara. Jason mengatakan bahwa ia menemui Pologruto dan mengatakan kepadanya bahwa ia akan bunuh diri gara-gara nilai B tersebut.

Dari cerita tersebut memunculkan masalah yang sangat urgen, yaitu mengapa seseorang yang begitu cerdas (IQ tinggi) melakukan suatu tindakan yang tidak rasional atau dapat dibilang “betul-betul bodoh”. Jawabannya adalah bahwa kecerdasan akademik (IQ) memiliki hubungan yang tidak begitu signifikan dengan kehidupan emosional. Orang dengan IQ tinggi dapat menjadi pilot yang tidak cakap dalam kehidupan pribadi mereka.

Kecerdasan akademis (IQ) praktis tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak atau kesempatan yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup. Bahkan IQ yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan, gengsi, kebahagiaan, atau kesuksesan hidup. Sekolah dan budaya kita lebih menitik beratkan pada kecerdasan akademis (IQ).

Dari data sebuah studi yang dilakukan secara kontinu terhadap 81 juara kelas dan juara kedua dari angkatan tahun 1981 di sekolah-sekolah menengah di Illinois, disimpulkan bahwa meskipun mereka berprestasi bagus di perguruan tinggi, dengan nilai-nilai yang luar biasa, tetapi pada akhir usia dua puluhan, mereka hanya berhasil mencapai tingkat keberhasilan rata-rata. Sepuluh tahun setelah lulus sekolah menengah, hanya satu di antara empat orang yang meraih tingkat paling tinggi di antara orang-orang muda sebaya dalam profesi yang telah mereka pilih, dan banyak yang jauh di bawah itu. Dalam penelitian sejenis, banyak orang yang berhasil dan sukses dalam hidupnya, sebagian besar dari mereka memiliki IQ yang sedang atau dengan prestasi akademik yang biasa-biasa saja.

Menurut Daniel Goleman, pengarang buku “Kecerdasan Emosional”, IQ hanya menyumbangkan kira-kira 20% bagi faktor-faktor yang menentukan dalam kesuksesan hidup seseorang, sedangkan 80% diisi oleh kekuatan-kekuatan lain, yaitu “kecerdasan emosional” (EQ). Adapun ciri-ciri kecerdasan emosional, antara lain kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, kecakapan sosial, dan berdoa.
(Daniel Goleman)
Sumber: Buku “Kecerdasan Emosional”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Film Indonesia SUSTER MARIA 1974

>> DOWNLOAD << Atas perintah pimpinan rumah sakit, perawat Maria (Tanty Josepha) mendatangi rumah Ny. Permana (Chitra Dewi). Ma...

Flag Counter